Penulis: Wilhelmina Mayola Pango
Program Studi Pascasarjana Manajemen Inovasi Universitas Teknologi Sumbawa
Nutrisi atau gizi adalah substansi organic yang dibutuhkan organisme untuk fungsi normal dari system tubuh, pertumbuhan, dan pemeliharaan Kesehatan. Masalah gizi adalah gangguan sesehatan dan kesejahteraan seseorang, kelompok orang atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidak seimbangan antara asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi penyakit (infeksi). Masalah gizi di Indonesia merupakan salah satu Prioritas Nasional dari Presiden Joko Widodo khususnya masalah gizi Indonesia yaitu stunting.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis dan gizi berulang sehingga fisik anak lebih pendek dari anak seusianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan pada masa awal setelah bayi lahir yang dikenal dengan istilah 1000 hari kelahiran pertama (HPK) yaitu masa yang penting untuk pertumbuhan anak. Akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Salah satu penyebab dari stunting ialah kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi sejak hamil hingga anak berusia 2 tahun, sanitasi di tempat tinggal ibu yang buruk, tidak adanya kepemilikan jamban dan faktor dari 4T yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak dan terlalu dekat, faktor-faktor inilah yang membuat anak berisiko menjadi keluarga berisiko stunting.
Hal penting yang harus dilakukan agar anak tidak stunting adalah dimluai dari masa remaja yaitu remaja putri harus menjaga pola hidup sehat, gizi seimbang melalui pola makan yang baik dan benar dan mengkonsumsi suplemen tambah darah. Selain itu pada saat masa kehamilan, pengaturan makanan harus memperhatikan gizi seimbang. Kemudian, setelah bayi lahir menerapkan pengasuhan yang baik, mampu memenuhi kebutuhan dasar anak yang meliputi asah, asih, dan asuh.
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan prevalensi stunting yang masih di atas standar WHO yaitu 20% atau seperlima dari jumlah total anak balita. Prevalensi angka stunting di Indonesia saat ini mencapai 24,4% pada 2022 berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia. Stunting berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan otak serta mengakibatkan anak akan memiliki risiko lebih tinggi menderita penyakit kronis di masa dewasanya. Kondisi gagal tumbuh pada anak balita (Stunting) disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu lama serta terjadinya infeksi berulang, dan kedua faktor penyebab ini dipengaruhi oleh pola asuh yang tidak memadai terutama dalam 1.000 HPK.
Masalah stunting ini perlu diselesaikan karena berdampak pada generasi yang akan datang yaitu berkaitan dengan sumber daya manusia dan kesehatan. Menurut Grantham McGregor dan Baker Henningham (2005) menunjukkan bahwa di banyak negara, stunting juga berkaitan dengan rendahnya kemampuan kognitif anak dan performa mereka di sekolah. Stunting memengaruhi kapasitas belajar pada usia sekolah, nilai dan prestasi sekolah, upah kerja pada saat dewasa, risiko penyakit kronis seperti diabetes, morbiditas, mortalitas, dan bahkan produktivitas ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah telah menjadikan permasalahan stunting menjadi prioritas nasional yang harus ditanggulangi. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin telah menetapkan bahwa mengurangi tingginya angka stunting menjadi prioritas utama Presiden sebagai bagian dari pembangunan sumber daya manusia (SDM) unggul.
Hasil data dari SSGI 2021 menunjukkan bahwa NTB memiliki prevalensi stunting rata-rata di angka 31,4%. Berdasarkan data dari EPPBGM Kabupaten Sumbawa memiliki prevalensi angka stunting sebesar 8,39%. Sedangkan data dari SSGI Kabupaten Sumbawa berada pada angka 29,7%. Dengan angka stunting yang masih tinggi di Indonesia, pada awal tahun 2021, Pemerintah Indonesia menargetkan angka Stunting turun menjadi 14 persen di tahun 2024. Presiden Joko Widodo menunjuk Kepala BKKBN, Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG. (K) menjadi Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting. BKKBN sebagai ketua pelaksana berada di Hulu atau intervensi sensitive yaitu intervensi pada keluarga Berisiko Stunting. Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perindungan Anak Kabupaten Sumbawa yang berada di bawah koordinir BKKBN Pusat dalam menanggulangi permasalahan stunting terkhususnya upaya untuk pencegahan stunting pada keluarga berisiko stunting di Kabupaten Sumbawa.
Keluarga Berisiko Stunting adalah keluarga yang memiliki satu atau lebih faktor risiko Stunting yang terdiri dari keluarga yang memiliki anak remaja puteri/calon pengantin/Ibu Hamil/Anak usia 0 (nol) -23 (dua puluh tiga) bulan/anak usia 24 (dua puluh empat) – 59 (lima puluh sembilan) bulan berasal dari keluarga miskin, pendidikan orang tua rendah, sanitasi lingkungan buruk, dan air minum tidak layak.
Keluarga berisiko stunting, akan didampingi oleh Tim Pendamping Keluarga. Tim pendamping Keluarga akan mendampingi dari calon pengantin, pasangan usia subur, masa kehamilan, masa nifas, balita 0-23 bulan, dan balita usia 0-59 bulan.
- Calon Pengantin :
- Skrinning kelayakan menikah 3 bulan sebelum hari H
- Pendampingan ketat bagi catin tidak lolos skrinning
- Pasangan Usia Subur :
- Skrinning kelayakan calon ibu hamil
- Pendampingan dan pelayanan konstrasepsi untuk menunda kehamilan
- Penajaman promosi, KIE dan Komunikasi antar pribadi.konseling
- Masa kehamilan :
- Pendampingan skrinning awal
- Pendampingan ketat kehamilan risiko stunting dan patalogis
- Pendampingan kehamilan sehat
- Pendampinga janin terindikasi risiko stunting
- Deteksi dini setiap penyakit
- Masa Nifas :
- Memastikan KBPP, ASI ekslusif, imunisasi ataupun gizi ibu menyusui, dan tidak ada komplikasi masa intens
- Memastikan kunjungan postnatal care (PNC)
- Balita 0-23 Bulan
- Skrinning awal bayi baru lahir
- Pendampingan tumbuh kembang bayi lahir sehat
- Pendampingan dan pelayanan bayi 0-23 bulan dengan risiko stunting
- Balita 0-59 Bulan
- Pendampingan pengasuhan dan pemantauan tumbuh kembang balita.
Stunting di Nusa Tenggara Barat masih tergolong tinggi dengan masih berada di angka sekitar 30% sehingga masih sangat diperlukan pendampingan secara lebih maksimal dari BKKBN atau OPD KB yaitu Tim Pendamping Keluarga untuk mencegah terjadinya stunting pada anak dan menurunkan prevalensi angka stunting. Hal yang perlu dimulai untuk melakukan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) adalah perlunya untuk mengetahui faktor determinan stunting pada daerah yang menyebabkan keluarga berisiko stunting, melahirkan anak dengan risiko stunting yang tinggi. Oleh karena itu, untuk memberikan pendampingan KIE yang tepat maka perlu diketahui faktor penyebab stunting itu sendiri. Ada banyak faktor penyebab dari stunting yaitu asupan gizi pada 1000 HPK belum adekuat, akses air bersih, status gizi ibu saat hamil, kepemilikan jamban untuk BAB, paparan asap rokok (anggota keluarga merokok), kecacingan pada balita, penyakit infeksi berulang, kepemilikan BPJS/JKN, imunisasi, kondisi makanan, usia, tingkat pendidikan ibu, dan perilaku sehat ibu seperti mencuci tangan dengan sabun.
Setelah mengetahui berbagai macam faktor determinan stunting, maka pendampingan oleh Tim Pendamping Keluarga harusnya lebih mengarah untuk mencegah perilaku-perilaku tidak sehat yang dilakukan oleh ibu ataupun keluarga dan melakukan pengoptimalan pendampingan pada keluarga berisiko stunting dengan melihat faktor-faktor determinan stunting yang ada. Faktor determinan stunting paling tinggi di Kabupaten Sumbawa adalah paparan asap rokok, kepemilikan BPJS/JKN dan riwayat ibu hamil KEK. Maka, OPD KB yang ada di Kabupaten Sumbawa harus menggencarkan pengoptimalan pendampingan pada keluarga berisiko stunting khususnya keluarga yang memiliki ayah atau angota keluarga yang merokok, pada keluarga yang belum memiliki BPJS untuk di bantu dan Riwayat ibu hamil KEK yang harus terus didampingi dan di pantau baik dalam perilaku maupun dalam konsumsi makanan yang harus sehat demi terwujudnya penurunan angka stunting menjadi 14% pada tahun 2023 di Indonesia.