Oleh : Arnan Jurami
Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan serentak tahun 2024 sedang berjalan sesuai tahapan yang telah ditentukan. Baik itu, Pemilu untuk memilih anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD RI, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, hingga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur, Bupati/Walikota. Namun, pada setiap kontestasi Pemilu maupun Pemilihan, masih cukup banyak ditemukan pelanggaran dan kecurangan. Isu seperti politik uang, netralitas ASN/TNI/POLRI, politisasi SARA, cukup banyak menghiasi pemberitaan media cetak maupun online selama ini.
Pengawasan oleh lembaga penyelenggara Pemilu seperti Bawaslu sepertinya juga belum cukup untuk menekan tingkat pelanggaran Pemilu yang terjadi. Meski Bawaslu sendiri sudah berupaya membentuk serta mendeklarasikan Kampung Partisipatif dan Kampung Anti Politik Uang. Hal ini juga tidak terlepas dari luas wilayah dan banyaknya peserta Pemilu.
Apalagi di era distrupsi seperti saat ini, media social mengambil peranan tersendiri. Berbagai pelanggaran Pemilu, seperti kampanye hitam, ujaran kebencian dan berita hoax kerap terjadi melalui media social terutama Facebook. Teknologi smartphone dan media sosialnya telah menjadi alternatif bagi publik dan untuk mengekspresikan sikap dan opininya. Media sosial yang cepat dan interaktif serta transparan, mempengaruhi pola pola sosialisasi hingga terbentuknya budaya baru (Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi, Henry Subiakto dan Rachma Ida, tahun 2012). Media sosial menyimpan dua sisi, sisi positif memudahkan masyarakat menyampaikan opininya, namun disisi lain juga masih maraknya berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) olah oknum atau kelompok tertentu untuk melakukan provokasi dengan tujuan tertentu. Inilah yang menjadi titik tekan pengawas Pemilu untuk juga melakukan pengawasan di dunia maya.
Untuk menekan tingkat pelanggaran dimaksud, penulis memberikan beberapa saran. Pertama, perlu memperkuat pengawasan partisipatif. Pengawasan berbasis masyarakat sipil (partisipatif), sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir telah dilakukan oleh Bawaslu. Salah satunya dengan membentuk Pengawas Partisipatif. Baik itu melalui Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP), Kampung Partisipatif maupun Pengawas Partisipatif Berbasis Kearifan Budaya Lokal dan Komunitas. Namun, pengawasan tersebut belum berjalan secara efektif, karena satu sama lain belum terkoordinir dengan baik. Perlu upaya menyatukan seluruh elemen pengawas partisipatif sebagai mitra pengawas aktif.
Kedua, perlu dilakukan sistem pengawasan yang inovatif dan terbuka. Pemilu berbasiskan teknologi informasi perlu digalakkan dan disebarluaskan. Jika dilihat dari Pemilu 1999 hingga penyelenggaraan Pemilu 2009, penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemilu belumlah dilakukan secara masif mengingat masih terbatasnya teknologi informasi di Indonesia. Namun, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, pada penyelenggaraan Pemilu 2014 hingga 2019 aktifitas masyarakat sipil dalam pemanfaatan teknologi informasi dalam melakukan pemantauan terbilang sangat luas (Desain Partisipasi Masyarakat dalam Pemantauan Pemilu” Fadli Ramadhanil, Veri Junaidi, Ibrohim, 2015). Penggunaan media social dalam sosialiasi tahapan dan aturan Pemilu juga menjadi penting dan efektif.
Dalam beberapa Pemilu terakhir, masih terdengar suara suara sumbang dari masyarakat tentang beberapa lembaga Pengawas Pemilu yang masih tertutup dalam penyampaian informasi. Kedepan, posko pengaduan dan call center pengaduan ataupun membuka link khusus pengaduan Pemilu di media sosial. Hal ini tentunya untuk mempermudah masyarakat dalam menyampaikan keluhan ataupun dugaan pelanggaran yang terjadi.
Ketiga, memperkuat lembaga pemantau Pemilu. Melalui pemantauan dengan menggunakan teknologi informasi, yang diyakini dapat menjawab beberapa tantangan dalam melakukan pemantauan pemilu ke depan. Banyaknya inisiatif yang muncul dalam pemantauan pemilu, tentu saja menjadi fenomena yang sangat baik terhadap adanya kekuatan eksternal yang dapat mengawal pemilu berjalan diatas prinsip yang jujur dan adil.
Namun dalam perjalanannya, aktivitas pemantauan pemilu, terutama setelah Pemilu 1999, dirasa semakin menurun. Selain tantangan sumber daya, faktor lain yang menjadi tantangan dan hambatan dalam aktivitas pemantauan pemilu oleh masyarakat, diantaranya, belum maksimalnya pesan yang sampai kepada pemilih tentang bagaimana pentingnya pengawasan publik terhadap setiap tahapan pemilu. Juga faktor jarak antara tahapan dengan jangkauan pemilih yang menjadi tantangan tersendiri dalam menurunnya aktivitas pemantauan pemilu. Selain itu, faktor keterbukaan informasi kepemiluan juga menjadi catatan penting untuk diperhatikan oleh penyelenggara pemilu. Penyelenggara Pemilu perlu memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat, yang tentu juga akan sangat bermanfaat dalam memandu aktivitas pemantauan pemilu.
Keempat, memperkuat kemitraan dengan pers. Media bisa mempublikasikan setiap kegiatan penyelenggara Pemilu termasuk tahapan Pemilu seperti saat ini. Kemudian membantu dalam mengungkapkan berbagai dugaan pelanggaran Pemilu melalui kerja dan produk jurnalistik yang dihasilkan. Makanya, media bisa menjadi salah satu stakeholders kunci dalam melaksanakan kerja kepengawasan dan kehumasan. Apalagi kepercayaan masyarakat kepada media, terutama media mainstream saat ini juga relatif masih tinggi. Makanya menjadi penting bersinergi dengan media.
*Penulis adalah wartawan yang juga aktif sebagai Pengurus PWI Sumbawa