dwipamedia.com – Hari-hari pencarian makna puasa memasuki babak berikutnya, ampunan (maghfirah). Ia menjahit fase rahmah sebelum menempuh jalan berliku, pembebasan (ittkum minannar). Dalam pendakian yang kian berat itu, tak sedikit manusia terjebak pada eksoterisme religi ketimbang mengais esoterisme yang tersimpan jauh di kedalaman puasa.
Meminjam istilah Schuon (1981), eksoterisme religi mencirikan kepadatan ritual, festival budaya, syiar dan pengaruh sosiologisnya (surface structure). Sementara esoterisme religi memburu kedalaman, penjiwaan, ruhiyah, berupaya menyelami bagian paling tubir dari sisi religi (deep structure). Mereka yang kuat ritual tak jarang kelelahan, tanpa bisa meraih bagian paling nikmat di ujung puasa. Kata nabi, berapa banyak orang puasa tak beroleh apa-apa kecuali lapar dan dahaga.
Bagi mereka yang beruntung tentu mampu menggapai keduanya. Artinya, mereka tak hanya menjalani ritual, juga menampakkan keberartiannya lewat berbagi rasa, serta hidup dalam kualitas mahluk sosial. Dalam pencarian makna seperti itu, peluang beroleh predikat tertinggi bukanlah fatamorgana. Merekalah peraih tattaqun lewat refleksi integritas imaniah iqrorun bil lisan, tasdiqun bil qolbi, wa amalun bil arkan.
Fase ampunan menawarkan berbagai remisi, grasi, amnesti, abolisi, bahkan rehabilitasi atas nama Tuhan. Semua fasilitas ditujukan bagi pendosa yang terperangkap dalam keterpenjaraan nafsu jasmani dan penyakit rohani. Dalam analogi itu diperlukan tebusan setimpal lewat tindakan nyata agar ampunan Tuhan tak hanya bersifat pembebasan bersyarat, tapi pemulihan tanpa batas. Pemaafan di dunia dan akherat sebagaimana janjinya, mengampuni dosa semuanya (QS Az Zumar, 53).
Tak ada dosa yang tak dimaafkan sejauh manusia menampilkan kesungguhan diri. Dalam spirit yang sama tak ada rintangan memaafkan kekhilafan orang lain sejauh tampak keseriusan lewat pergaulan hidup. Presiden Nelson Mandela mampu memaafkan sipir yang mengencingi dirinya saat di buih. Buya Hamka memaafkan petinggi negara yang memenjarakan dirinya. Muhammad saw mendoakan mereka yang melempari wajahnya hingga berlumur darah. Bila pelanggar hukum bergantung pada keadilan negara, maka pelanggar moral bergantung pada ampunan Tuhan dan pemaafan kita masing-masing (Hegel, 1807).
Dalam optimisme ampunan yang sedemikian luas itu, kita berusaha melewati waktu agar tak sia-sia kehilangan peluang. Doa-doa dipanjatkan agar setebal apapun pelanggaran di dunia dapat di tebus selekasnya. Bukankah seorang kriminal masih berpeluang ke surga sejauh jaraknya lebih dekat ke lokus pertaubatan. Bahkan seorang pezina pun berpeluang diampuni sejauh sandalnya masih meneteskan air untuk seekor anjing yang kehausan. Sesungguhnya Tuhan akan menerima taubat seorang hamba selama nafasnya belum sampai di tenggorokan (HR Ibnu Majah & Tirmidzi).
Pada makna lain puasa memandu kemampuan terbaik manusia menampakkan jati dirinya. Kemampuan itu tak hanya pada aspek literasi religi, juga kemampuan psiko dan afeksinya. Keterampilan muncul sebagai respon atas kelemahan diri dan lingkungannya. Demikian pula perilaku manusia cenderung menjadi lebih mungkin menahan ketimbang membiarkan dorongan eksistensi diri yang tak berujung. Hanya kematianlah yang membatasi hasrat manusia untuk bertumbuh dan berkembang.
Eksistensi manusia jamak di ukur lewat mistar materialisme. Kita cenderung memenuhi filsafat perut dan dibawahnya sebagai laku hedonisme. Dalam situasi itu manusia kehilangan nilai terbaiknya lantaran tertutup oleh timbunan lemak kesenangan duniawi. Keterbelakangan religi menjadikan manusia cenderung menilai lewat teropong materi. Manusia seakan papa jika tanpa harta dan tahta. Kita lupa bahwa semua itu justru rapuh, menua, dan ditinggal. Puasa membuka ruang kontemplasi untuk kembali ke jalan yang benar, yaitu jalan orang-orang yang Ia beri nikmat dan ridhoi.
Pencarian makna lewat ampunan setidaknya mengosongkan kembali bilik jiwa dari himpitan dosa. Dengan begitu spirit kita melihat masa depan semakin terang dan ringan. Sinar benderang semacam itu memberi asa untuk sampai ke titik kesucian diri (fithrah). Bila Tuhan dengan mudah mau mengampuni, lalu mengapa manusia terkadang sulit memaafkan? Mungkin ada benarnya kata seorang tokoh religi, pengampunan adalah alat yang ditempatkan dalam tangan kita yang rapuh, untuk sebuah tujuan akhir, mendapatkan ketenangan hati. (ra)